Kamera CCTV

Minggu, 05 Januari 2014

Metode-Metode Penelitian Kuantitatif..








Metode-Metode Penelitian Kuantitatif

AHMAD YUSUF RONI

Beberapa metode penelitian kuantitatif yang cukup sering digunakan adalah survei dan eksperimen.

Metode Survei
Metode survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling sering dipakai di kalangan mahasiswa. Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Tetapi bila dilakukan dengan sembrono, temuan survei ini cenderung superficial (dangkal) meskipun dalam analisisnya peneliti menggunakan statistik yang rumit.
Penelitian survei dengan kuesioner ini memerlukan responden dalam jumlah yang cukup agar validitas temuan bisa dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang digali dari kuesioner itu cenderung informasi umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh responden. Karena informasi bersifat umum dan (cenderung) dangkal maka diperlukan responden dalam jumlah cukup agar "pola" yang menggambarkan objek yang diteliti dapat dijelaskan dengan baik.
Sebagai ilustrasi, lima orang saja kemungkinan tidak mampu memberikan gambaran yang utuh tentang sesuatu (misalnya tentang profil kesejahteraan pegawai). Tetapi 250 orang mungkin akan lebih mampu memberi gambaran yang lebih baik tentang profil kesejahteraan pegawai itu. Perlu dicatat, jumlah responden saja belum cukup memenuhi syarat "keterwakilan". Teknik memilih responden ("teknik sampling") juga harus ditentukan dengan hati-­hati.
Karena validitas data sangat tergantung pada "kejujuran" responden maka peneliti sebaiknya juga menggunakan cara lain (selain kuesioner) untuk meningkatkan keabsahan data itu. Misalnya, peneliti mungkin bertanya kepada responden tentang pendapatan per bulannya (dalam rupiah). Dalam hal ini, peneliti juga mempunyai sumber data lain untuk meyakinkan kebenaran data yang diberikan responden (misalnya dengan melihat daftar gaji si responden di kantornya). Jika hal ini sulit ditemukan maka peneliti terpaksa harus berasumsi bahwa semua data yang diberikan responden adalah benar. Kita tahu, asumsi semacam ini sering kali menyesatkan.
Kesalahan yang sering dibuat oleh peneliti dalam penelitian survei ini adalah terletak pada analisis data. Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang dikumpulkan melalui kuesioner ini adalah sekedar "persepsi tentang sesuatu", bukan "substansi dari sesuatu". Karena itu, kalaupun peneliti menggunakan analisis statistik yang cukup kompleks (misalnya korelasi atau regresi) maka peneliti harus ingat apa yang dianalisisnya itu tetaplah sekumpulan persepsi, bukan substansi.
Beberapa tema penelitian dengan menggunakan metode survei adalah sebagai berikut.
1. Survei tentang alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai di semua perguruan
    tinggi negeri.
2. Survei tentang kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan di Bank XY.
3. Analisis terhadap potensi penerimaan calon konsumen terhadap produk baru yang akan  
    diluncurkan.
4. Jajak pendapat masyarakat terhadap metode baru dalam hal penetapan Pajak
    Pembangunan I.
Dari contoh-contoh di atas, kita sadar bahwa tidak mudah menggolongkan suatu penelitian ke jenis penelitian tertentu dengan hanya melihat judul atau tema penelitian itu. Jika hanya judul yang kita baca maka kita sebenarnya bisa memasukkan suatu penelitian ke jenis penelitian mana pun. Karena itu, kita harus bisa membaca seluruh desain penelitian untuk mengetahui jenis penelitian atau metode yang digunakan seorang peneliti.

Metode Eksperimen
Metode Eksperimen adalah metode penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara satu variabel dengan lainnya (variabel X dan variabel Y). Untuk menjelaskan hubungan kausalitas ini, peneliti harus melakukan kontrol dan pengukuran yang sangat cermat terhadap variabel-­variabel penelitiannya.
Tetapi metode eksperimen tidak hanya digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat antara satu dan lain variabel, tetapi juga untuk menjelaskan dan memprediksi gerak atau arah kecenderungan suatu variabel di masa depan. Ini adalah eksperimen yang bertujuan untuk memprediksi.

Perlu diingat, dua variabel yang berkorelasi (misalnya "tingkat pendidikan" berkorelasi dengan "tingkat penghasilan") tidak berarti dua variabel tersebut mempunyai hubungan sebab-akibat. Sebaliknya, dua variabel yang tidak berkorelasi (zero correlation) bukan berarti sudah tertutup kemungkinan berhubungan sebab­-akibat (Hopkins, et al, 1987). Untuk mengukur korelasi, metode survei mungkin sudah cukup memadai. Tetapi untuk menjawab "Apakah tingkat pendidikan menyebabkan naiknya pendapatan?" Diperlukan suatu studi eksperimen yang sangat ketat aturannya.
Seperti metode-metode lain, metode eksperimen ini mempunyai banyak variasi. Berikut ini beberapa contoh variasi (model) metode eksperimen. Sebagai catatan:
O       :  adalah Observasi
X       :  adalah variabel independen
R       :  kelompok subjek yang dibagi secara random
EG    :  experimental group
CG    :  control group

NO
NAMA MODEL
MODEL
KOMENTAR
1
One-shot case study
- XO1
Tak ada perbandingan antara
 pre dan post program
2
One-group pretest-posttest
O1 XO2
Tanpa kelompok pembanding
3
Static group
    EG:    -     X O1
Pembagian kelompok tidak


 CG:            O2
dirandom
4
Pretest-posttest control group
EG: R O1 X O2
Pembagian kelompok melalui



    CG:   R  O3   O4

random
5
Posttest only control group
EG:   R  -  XO1
       CG:    R     - O2
Kedua kelompok tidak diberi
pretest
6
Time series
O1 O2 ... On  X Om …O2         
Tanpa EG dan CG
7
Multiple time series
EG: O1 O2 ... X  O1 O2 ...
Mahal Tanpa random


CG: O1 O2     - O1 O2 ...

8
Solomon
EG : R O1 X O2
      CG : R O1    O2
EG : R       X O1
CG: R            O2
Mahal
Rumit
         (Sumber: O'Sullivan& Rassel, 1995)



Untuk model pertama, peneliti tidak melakukan pengukuran sebelum perlakuan (X). Tetapi is langsung mengukur hasil sesudah (X). Dengan model kedua, peneliti bisa membuat pertanyaan, apakah "suatu sistem penarikan pajak gaya baru dapat menaikkan penerimaan pajak di daerah "X"? Dalam hal ini, peneliti tinggal membandingkan penerimaan pajak di daerah X sebelum dan sesudah digunakannya sistem penarikan pajak gaya baru tersebut.
Untuk model keempat, peneliti bisa menggunakan pertanyaan yang sama, tetapi diperlukan daerah selain X (misalnya daerah Z) sebagai pembanding tingkat penerimaan pajak. Daerah X dikenakan (diberlakukan) sistem penarikan pajak gaya baru, di daerah Z tidak. Berikut ini adalah beberapa contoh tema penelitian dengan menggunakan metode eksperimen:
1.       Apakah terdapat perbedaan dalam hal tingkat pemahaman siswa antara siswa yang diajar dengan metode instruksionis dengan siswa yang diajar dengan metode konstruktivis?
2.       Perbedaan efektivitas dan efisiensi metode iqro dengan metode tradisional (dalam mempelajari bahasa Arab)
3.       Pengaruh pendekatan focused group discussion terhadap proses pengambilan keputusan.
Perlu pula diingat kembali, eksperimen di dalam penelitian ilmu­-ilmu sosial sering bersifat "kuasi" (semu). Artinya, pengontrolan terhadap variabel-variabel yang diteliti sering kali tidak mungkin dilakukan secara ketat seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu eksakta {yang tidak menggunakan unsur "manusia" sebagai objek penelitian). Dalam ilmu sosial, eksperimen semu adalah eksperimen yang tidak menggunakan "random" untuk membagi kelompok Eksperimen dan kelompok Kontrol. Pada model-model di atas, semua model yang tanpa "R" adalah Eksperimen semu.

Kesalahan dalam Metode Eksperimen
Hal-hal yang mempengaruhi validitas internal dan eksternal dalam penelitian eksperimen, disebut "Extraneous Variables" adalah variabel selain variabel-variabel utama yang diteliti, yang mempengaruhi hasil akhir penelitian (kesimpulan) jika tidak dikontrol. Borg & Gall mengutip Campbell & Stanley (1963), lihat juga Malhorta (1977) menunjukkan ada 10 tipe variabel extrane­ous, yaitu:
1. History
2. Maturation
3. Testing
4. Instrumentation
5. Statistical regression
6. Differential selection
7. Experimental mortality
8. Selection-maturation interaction
 9. The John Henry Effect
10. Experimental treatment diffusion.

1. History. Pada penelitian yang membutuhkan waktu relatif lama, ada kemungkinan terjadi hal-hal yang mempengaruhi proses penelitian itu sehingga hasil akhir penelitian tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh (treatment) perlakuan, tetapi oleh hal-hal lain. Ketika terjadi kerusuhan di Indonesia pada tahun 1998 (yang menandai jatuhnya rejim Soeharto), banyak penelitian menjadi "kacau" karena terjadi perubahan-perubahan mendasar di segala bidang (ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya).
2. Maturation. Pada saat penelitian berlangsung, ada kemungkinan para subjek yang diteliti mengalami "pendewasaan" (maturation). Mereka mungkin bertambah cerdas, bertambah terampil, lebih percaya diri dan sebagainya. Jadi, hasil penelitian lagi-lagi tidak hanya akibat dari treatment, tetapi juga dipengaruhi faktor maturation ini.
3. Testing. Dalam studi eksperimen yang menggunakan pretest dan postest, ada kemungkinan subjek menjadi lebih tahu tentang test (terutama postest), atau menjadi test wise. Maka, kalaupun ada kenaikan nilai test (post > pre). Hal ini mungkin lantaran subjek menjadi lebih pintar alias test wise. Bisa juga terjadi kualitas pre test tidak sama dengan kualitas post test. Misalnya post test lebih mudah dari pada pre test, maka wajar hasil post test lebih baik daripada hasil pre test-nya (lihat juga "instrumentation").

4. Instrumentation. Ini berhubungan dengan kualitas instrumen penelitian. Jika misalnya, pretest dibuat sangat sulit (tingkat kesukarannya tinggi), sedangkan postest dibuat dengan tingkat kesukaran lebih rendah (mungkin karena ketidaksengajaan) maka Jika pun hasil post > pre, hal ini bukan dari hasil treatment, tetapi dari kesalahan instrumen itu. Demikian pula bila kita telah menggunakan jenis instrumen. Misalnya, untuk mengukur kemampuan psikomotorik diperlukan tes yang bersifat kegiatan fisik ("melakukan suatu kegiatan"). Tetapi peneliti ternyata hanya menggunakan tes tertulis. Misalnya, bukan kemampuan psikomotorik yang diukur, tetapi kemampuan kognitif.

5. Statistical regression. Ini berhubungan dengan perhitungan statistik. Bila kita membandingkan dua kelompok (misalnya kelompok pengusaha kecil dan kelompok pengusaha menengah) dengan memperlakukan "treatment" yang sama (misalnya pengenalan terhadap manajemen usaha). Ternyata, setelah waktu tertentu, ada kecenderungan kelompok yang mendapat "gain" lebih besar adalah kelompok pengusaha kecil. Secara, "common sense" sebenarnya kita bisa mengerti bila suatu perubahan lebih mudah terlihat di konteks "kecil" dari pada melihat perubahan di konteks "yang lebih besar". Kenaikan Rp 1 juta ke Rp 2 juta adalah kenaikan 100%. Tetapi kenaikan yang sama, Rp 1 juta, dari Rp 1 milyar ke Rp 1.001.000.000,00 "hanya" 0,001%.

6. Differential selection. Dalam studi eksperimen yang membandingkan dua kelompok (kelompok A dan B), peneliti harus "mengatur" sedemikian rupa sehingga kelompok A sama dengan kelompok B sehingga perbandingan bisa dilakukan secara baik. Tetapi kadang-kadang karena satu dan lain hal, yang masuk ke kelompok A, misalnya, rata-rata lebih baik daripada yang dikelompok B. Maka, ketika dua kelompok ini dibandingkan di akhir penelitian, jelas sekali kelompok A lebih baik dari kelompok B. Ini bukan karena treatment, tetapi karena kesalahan pengelompokan.

7. Experimental mortality. Ini berhubungan dengan tingkat drop out subjek penelitian. Jika satu per satu subjek mengundurkan diri dari penelitian, lama-lama peneliti akan kekurangan subjek untuk diteliti. Mungkin secara kuantitas jumlahnya masih cukup. Tetapi bila profile subjek berubah drastis (kelompok tertentu masih banyak, kelompok lain sebagai kelompok pembanding katakanlah tinggal satu orang), penelitian praktis tidak mungkin dilanjutkan.

8. Selection-maturation interaction. Ini sama dengan nomor enam, tetapi satu kelompok menjalani "pendewasaan" yang lebih cepat daripada kelompok lainnya.

9. The John Henry Effect. Ini terjadi ketika kelompok kontrol (tidak diberi treatment) berperilaku lebih giat, lebih rajin, dan sebagainya, daripada kelompok eksperimen (kelompok yang diberi treatment). Hal ini mungkin terjadi karena, misalnya, kelompok kontrol merasa bahwa nantinya mereka akan "kalah" dibandingkan dengan kelompok eksperimen. Perasaan "kalah" semacam ini bisa memacu kelompok kontrol belajar dan bekerja lebih giat dari biasanya, katakanlah untuk membuktikan bahwa mereka sama baiknya dengan kelompok eksperimen.

10. Experimental Treatment Diffusion. Ini terjadi ketika kelompok kontrol "belajar" dari kelompok eksperimen, baik sengaja maupun tidak, Jadi, terjadi "perembesan" pembelajaran dari kelompok eksperimen ke kelompok kontrol.

Semua variabel yang berhubungan dengan fenomena di atas harus dikontrol oleh peneliti. Jika tidak, pasti akan terjadi kesalahan dalam pengambilan kesimpulan.
Apa yang dimaksud dengan "dikontrol" adalah diantisipasi sedini mungkin dan kemudian "dijaga" agar tidak mencemari proses eksperimen. Misalnya, agar tidak terjadi efek "Differential Selec­tion", maka dua kelompok harus dipilih secara acak (random) untuk mencapai pembagian yang fair. Agar tidak terjadi kesalahan karena faktor "Instrumentation" atau "testing", maka instrumen harus diuji berulang-ulang untuk mencapai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Untuk menghindari "experiment mortality", peneliti harus melibatkan jumlah subjek yang cukup banyak. Dan sebagainya.


 



Instrumen Penelitian Kuantitatif

Jika dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah penelitinya sendiri, maka dalam penelitian kuantitatif, instrumen harus dibuat dan menjadi perangkat yang "independent" dari peneliti. Peneliti harus mampu membuat instrumen sebagus mungkin, apapun instrumen itu.
Semua instrumen (baik yang tes maupun non tes) harus memiliki dua syarat yaitu reliabel dan valid. Reliabel berarti hasil pengukuran konsisten dari waktu ke waktu. Valid berarti instrumen secara akurat mengukur objek yang harus diukur.
Reliabilitas mempunyai tiga dimensi yaitu Stabilitas, Ekivalensi, dan Konsistensi Internal (O'Sullivan & Rassel, 1995). Stabilitas mengacu pada kemampuan instrumen untuk menghasilkan data yang sama dari waktu ke waktu (dengan asumsi objek yang diukur tidak berubah).
Ekivalensi mengacu pada kemampuan dua atau lebih macam instrumen yang dibuat dua atau lebih peneliti untuk mengukur satu hal yang sama. Misalnya, dua peneliti mengukur penggunaan listrik di suatu aula. Dua peneliti ini menggunakan dua instrumen yang berbeda. Tetapi jika temuan kedua peneliti ini sama, maka instrumen mereka memilki sifat "ekivalen".
Konsistensi internal tercapai jika semua item dalam instrumen mengukur satu hal yang sama. Jika terdapat 10 pertanyaan tentang motivasi, maka ke 10 pertanyaan itu mengukur hal yang sama (motivasi).
Instrumen yang baik juga harus valid. Ada beberapa macam validitas yaitu face validity, content validity, dan criterion validity. Face validity (validitas muka) tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari penglihatan sepintas lalu). Tentu saja validitas semacam ini sangat superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti cukup memerlukan validitas jenis ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang membaca atau mengisi instrumen tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk keperluan revisi.
Content validity (validitas isi) tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal yang perlu diukur. Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu semester, maka instrumen ini dianggap memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini jangan dikacaukan dengan "konsistensi internal" dalam bahasan tentang reliabilitas. Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester mungkin memiliki sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak memiliki validitas isi.
Criterion validity (validitas kriteria) mengacu pada kemampuan item-item instrumen untuk mengukur hal yang sama atau memprediksi suatu hal di masa depan. Dalam hal ini kita mengenal dua macam validitas, yaitu concurrent validity dan predictive validity. Concurrent validity tercapai jika suatu instrumen buatan kita misalnya, berkorelasi secara signifikan dengan instrumen lain yang mengukur hal yang sama. Jika kita mempunyai alat tes bahasa Inggris lalu kita uji cobakan kepada sejumlah siswa, dan hasilnya ternyata berkorelasi dengan nilai TOEFL mereka, maka tes kits telah memiliki concurrent validity.
Sedangkan predictive validity tercapai jika suatu instrumen mampu meramalkan apa yang terjadi di masa depan sesuai dengan hasil tes. Berikut adalah peta reliabilitas dan validitas instrumen.


Prosedur Penelitian Kuantitatif

Proses yang secara umum terjadi dalam penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut:
Pengamatan a  Hipotesis  a Pengumpulan Data  a   
Pengujian Hipotesis a Kesimpulan a Hukum/Teori/Prinsip a
Pengamatan  a Hipotesis a   ��

Dengan proses deduktif seperti ini, seorang peneliti kuantitatif akan bekerja di suatu sitem yang tertutup (closed system) di mana proses penelitian berjalan secara linear, algoritmik, dan output penelitian telah ditentukan sebelumnya.
Dengan logika berpikir seperti di atas, maka kita bisa mengerti bila jumlah bab dalam skripsi/tesis/disertasi adalah lima. Lima bab tersebut biasanya seperti berikut (tanpa menutup kemungkinan adanya variasi dari masing-masing perguruan tinggi).

Bab I : Permasalahan Penelitian
A : Latar Belakang
B : Pokok Permasalahan
C : Tujuan Penelitian
D : Manfaat Penelitian
  Bab II : Kerangka Teoritik
            A : Definisi Variabel-variabel
            B : Definisi Operasional Variabel
            C : Indikator
            D : Model Penelitian
            E : Pertanyaan Penelitian/Hipotesis 
  Bab III : Metodologi
A : Metode
B : Populasi-Sampel
C : Instrumentasi
D : Analisis Data
   Bab IV : Analisis Data Temuan
A : Deskripsi tentang Objek/Subjek Penelitian
B : Temuan dan Analisis
Bab V : Kesimpulan & Saran
A : Kesimpulan
B : Saran

Tetapi, sebagai catatan terakhir, perlu disinggung sedikit tentang desain penelitian kuantitatif. Tidak seperti desain penelitian kualitatif yang bersifat longgar dan fleksibel, desain penelitian kuantitatif sangat bersifat kaku dalam arti tidak mudah dirubah begitu selesai dibuat. Variabel-variabelnya jelas dan ditentukan dengan sangat hati-hati. Metodologinya di rancang sampai ke detil-detil terkecil. Tetapi isi desainnya sama saja dengan penelitian kualitatif (pokok permasalahan, kerangka teori, dan metodologi). Ingat dalam penelitian kualitatif, digunakan istilah fokus.
Karena itu, peneliti kuantitatif dituntut berpikir tajam dan spesifik sejak awal. Kesalahan kecil saja bisa mempengaruhi seluruh proses penelitian. Kadangkala peneliti kuantitatif harus menghabiskan waktu berbulan-bulan sebelum desain penelitiannya disetujui oleh dosen pembimbing untuk dilaksanakan di lapangan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar