Metode-Metode
Penelitian Kuantitatif
AHMAD YUSUF RONI
Beberapa metode penelitian kuantitatif yang cukup sering digunakan adalah survei dan eksperimen.
Metode Survei
Metode survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data. Metode ini adalah yang paling sering
dipakai di kalangan mahasiswa. Desainnya sederhana, prosesnya cepat. Tetapi
bila dilakukan dengan sembrono,
temuan survei ini cenderung superficial
(dangkal) meskipun dalam analisisnya peneliti
menggunakan statistik yang rumit.
Penelitian survei dengan kuesioner
ini memerlukan responden dalam
jumlah yang cukup agar validitas temuan bisa dicapai dengan baik. Hal ini wajar, sebab apa yang
digali dari kuesioner itu cenderung
informasi umum tentang fakta atau opini yang diberikan oleh responden. Karena informasi bersifat umum dan
(cenderung) dangkal maka
diperlukan responden dalam jumlah cukup agar "pola" yang menggambarkan objek yang diteliti
dapat dijelaskan dengan baik.
Sebagai ilustrasi, lima orang saja
kemungkinan tidak mampu memberikan
gambaran yang utuh tentang sesuatu (misalnya tentang profil kesejahteraan
pegawai). Tetapi 250 orang mungkin akan lebih mampu memberi gambaran yang lebih baik tentang profil kesejahteraan pegawai itu. Perlu dicatat,
jumlah responden saja belum cukup
memenuhi syarat "keterwakilan". Teknik memilih responden ("teknik sampling") juga harus
ditentukan dengan hati-hati.
Karena validitas data sangat
tergantung pada "kejujuran" responden maka peneliti sebaiknya juga menggunakan cara lain (selain kuesioner) untuk meningkatkan
keabsahan data itu. Misalnya,
peneliti mungkin bertanya kepada responden tentang pendapatan per bulannya (dalam rupiah). Dalam hal ini,
peneliti juga mempunyai sumber
data lain untuk meyakinkan kebenaran data yang diberikan responden (misalnya dengan melihat daftar gaji si responden di kantornya). Jika hal ini sulit ditemukan
maka peneliti terpaksa harus berasumsi bahwa
semua data yang diberikan responden
adalah benar. Kita tahu, asumsi semacam ini sering kali menyesatkan.
Kesalahan yang sering dibuat oleh
peneliti dalam penelitian survei ini
adalah terletak pada analisis data. Peneliti sering kali lupa bahwa apa yang dikumpulkan melalui kuesioner
ini adalah sekedar "persepsi tentang
sesuatu", bukan "substansi dari sesuatu". Karena itu, kalaupun peneliti menggunakan analisis
statistik yang cukup kompleks
(misalnya korelasi atau regresi) maka peneliti harus ingat apa yang dianalisisnya itu tetaplah sekumpulan persepsi, bukan
substansi.
Beberapa tema penelitian dengan menggunakan metode survei
adalah sebagai berikut.
1. Survei tentang
alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai di
semua perguruan
tinggi negeri.
2. Survei tentang
kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan di Bank
XY.
3. Analisis terhadap potensi
penerimaan calon konsumen terhadap produk
baru yang akan
diluncurkan.
4. Jajak pendapat
masyarakat terhadap metode baru dalam hal penetapan
Pajak
Pembangunan I.
Dari contoh-contoh di atas, kita sadar bahwa tidak mudah menggolongkan suatu penelitian ke jenis penelitian tertentu dengan hanya melihat judul atau tema penelitian itu. Jika hanya judul yang kita baca maka kita sebenarnya bisa
memasukkan suatu penelitian ke
jenis penelitian mana pun. Karena itu, kita harus bisa membaca seluruh desain penelitian untuk
mengetahui jenis penelitian atau metode
yang digunakan seorang peneliti.
Metode Eksperimen
Metode Eksperimen adalah metode penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara satu variabel
dengan lainnya (variabel X dan variabel Y). Untuk menjelaskan hubungan kausalitas ini, peneliti harus melakukan kontrol dan pengukuran yang sangat cermat terhadap variabel-variabel penelitiannya.
Tetapi metode eksperimen tidak hanya digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat antara satu dan lain variabel, tetapi
juga untuk menjelaskan dan memprediksi gerak atau arah kecenderungan suatu variabel di masa depan. Ini adalah eksperimen yang bertujuan untuk memprediksi.
Perlu
diingat, dua variabel yang berkorelasi (misalnya "tingkat pendidikan" berkorelasi dengan "tingkat
penghasilan") tidak berarti dua
variabel tersebut mempunyai hubungan sebab-akibat. Sebaliknya, dua variabel yang tidak berkorelasi (zero
correlation) bukan berarti sudah tertutup kemungkinan berhubungan
sebab-akibat (Hopkins, et al, 1987). Untuk
mengukur korelasi, metode survei
mungkin sudah cukup memadai. Tetapi untuk menjawab "Apakah tingkat
pendidikan menyebabkan naiknya pendapatan?" Diperlukan suatu studi eksperimen yang sangat ketat
aturannya.
Seperti metode-metode lain, metode
eksperimen ini mempunyai banyak variasi. Berikut ini beberapa contoh variasi
(model) metode eksperimen. Sebagai catatan:
O : adalah Observasi
X : adalah variabel
independen
R : kelompok subjek yang dibagi secara random
EG : experimental group
CG : control group
NO
|
NAMA MODEL
|
MODEL
|
KOMENTAR
|
1
|
One-shot case
study
|
-
XO1
|
Tak ada perbandingan antara
pre dan post program
|
2
|
One-group
pretest-posttest
|
O1
XO2
|
Tanpa kelompok
pembanding
|
3
|
Static group
|
EG:
- X O1
|
Pembagian kelompok tidak
|
CG: O2
|
dirandom
|
||
4
|
Pretest-posttest
control group
|
EG: R O1 X O2
|
Pembagian
kelompok melalui
|
CG: R O3 O4
|
random
|
||
5
|
Posttest only
control group
|
EG: R - XO1
CG: R
- O2
|
Kedua
kelompok tidak diberi
pretest
|
6
|
Time series
|
O1 O2 ... On
X Om …O2
|
Tanpa EG dan CG
|
7
|
Multiple
time series
|
EG: O1 O2 ... X O1 O2 ...
|
Mahal Tanpa random
|
CG: O1 O2
- O1 O2 ...
|
|||
8
|
Solomon
|
EG : R O1 X O2
CG : R O1
O2
EG : R X O1
CG: R O2
|
Mahal
Rumit
|
(Sumber:
O'Sullivan& Rassel, 1995)
Untuk model pertama,
peneliti tidak melakukan pengukuran sebelum
perlakuan (X). Tetapi is langsung mengukur hasil sesudah (X). Dengan
model kedua, peneliti bisa membuat pertanyaan, apakah "suatu sistem penarikan pajak gaya baru dapat menaikkan
penerimaan pajak di daerah "X"? Dalam hal ini, peneliti tinggal membandingkan
penerimaan pajak di daerah X sebelum dan sesudah digunakannya sistem
penarikan pajak gaya
baru tersebut.
Untuk model keempat, peneliti bisa menggunakan
pertanyaan yang sama, tetapi diperlukan daerah selain X (misalnya daerah Z) sebagai pembanding tingkat penerimaan pajak. Daerah X dikenakan (diberlakukan) sistem penarikan pajak gaya
baru, di daerah Z tidak. Berikut
ini adalah beberapa contoh tema penelitian dengan menggunakan metode eksperimen:
1. Apakah terdapat perbedaan dalam hal tingkat pemahaman siswa antara siswa yang diajar dengan metode
instruksionis dengan siswa yang diajar dengan metode konstruktivis?
2. Perbedaan efektivitas dan efisiensi metode iqro dengan metode tradisional (dalam mempelajari bahasa
Arab)
3.
Pengaruh pendekatan focused
group discussion terhadap proses pengambilan keputusan.
Perlu pula diingat kembali, eksperimen di dalam penelitian ilmu-ilmu
sosial sering bersifat "kuasi" (semu). Artinya, pengontrolan terhadap
variabel-variabel yang diteliti sering kali tidak mungkin dilakukan secara ketat seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu eksakta {yang tidak menggunakan unsur "manusia" sebagai objek
penelitian). Dalam ilmu sosial, eksperimen semu adalah eksperimen
yang tidak menggunakan "random"
untuk membagi kelompok Eksperimen dan kelompok Kontrol. Pada model-model di atas, semua model yang tanpa "R" adalah
Eksperimen semu.
Kesalahan dalam Metode Eksperimen
Hal-hal
yang mempengaruhi validitas internal dan eksternal dalam penelitian eksperimen, disebut "Extraneous Variables" adalah variabel
selain variabel-variabel utama yang diteliti, yang mempengaruhi hasil akhir penelitian (kesimpulan)
jika tidak dikontrol. Borg & Gall
mengutip Campbell
& Stanley (1963),
lihat juga Malhorta (1977) menunjukkan
ada 10 tipe variabel extraneous,
yaitu:
1.
History
2.
Maturation
3. Testing
4. Instrumentation
5. Statistical regression
6. Differential selection
7. Experimental mortality
8. Selection-maturation interaction
9. The John Henry Effect
10. Experimental treatment diffusion.
1. History.
Pada penelitian yang membutuhkan waktu relatif lama, ada kemungkinan terjadi hal-hal yang mempengaruhi proses penelitian itu sehingga hasil akhir penelitian tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh (treatment) perlakuan, tetapi oleh hal-hal lain. Ketika terjadi kerusuhan di Indonesia pada tahun 1998 (yang
menandai jatuhnya rejim Soeharto),
banyak penelitian menjadi "kacau"
karena terjadi perubahan-perubahan mendasar di segala bidang (ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya).
2. Maturation. Pada saat penelitian berlangsung, ada kemungkinan para subjek yang diteliti mengalami "pendewasaan" (maturation). Mereka
mungkin bertambah cerdas, bertambah terampil, lebih percaya
diri dan sebagainya. Jadi, hasil penelitian lagi-lagi tidak hanya
akibat dari treatment, tetapi juga
dipengaruhi faktor maturation ini.
3. Testing. Dalam studi eksperimen yang menggunakan pretest dan postest, ada kemungkinan subjek menjadi lebih
tahu tentang test (terutama postest), atau menjadi test wise. Maka, kalaupun ada kenaikan nilai test (post > pre). Hal ini mungkin lantaran subjek menjadi lebih pintar alias test wise. Bisa juga terjadi
kualitas pre test tidak
sama dengan kualitas post test. Misalnya post test lebih mudah dari
pada pre test, maka
wajar hasil post test lebih
baik daripada hasil pre
test-nya (lihat juga "instrumentation").
4. Instrumentation. Ini
berhubungan dengan kualitas instrumen
penelitian. Jika misalnya, pretest dibuat sangat sulit (tingkat kesukarannya tinggi), sedangkan postest dibuat dengan tingkat kesukaran lebih rendah (mungkin karena ketidaksengajaan) maka Jika pun hasil post > pre, hal ini bukan dari hasil treatment,
tetapi dari kesalahan instrumen
itu. Demikian pula bila kita telah menggunakan
jenis instrumen. Misalnya, untuk mengukur kemampuan psikomotorik diperlukan tes yang bersifat kegiatan fisik
("melakukan suatu kegiatan"). Tetapi peneliti ternyata hanya menggunakan tes tertulis. Misalnya, bukan kemampuan
psikomotorik yang diukur, tetapi
kemampuan kognitif.
5. Statistical regression. Ini berhubungan dengan perhitungan statistik.
Bila kita membandingkan dua kelompok (misalnya kelompok pengusaha kecil dan kelompok pengusaha menengah) dengan memperlakukan "treatment" yang sama (misalnya pengenalan terhadap manajemen usaha). Ternyata, setelah waktu tertentu, ada kecenderungan kelompok yang mendapat
"gain"
lebih besar adalah kelompok pengusaha kecil. Secara, "common
sense" sebenarnya kita bisa mengerti bila suatu perubahan lebih
mudah terlihat di konteks "kecil"
dari pada melihat perubahan di konteks "yang
lebih besar". Kenaikan Rp 1 juta ke Rp 2 juta adalah kenaikan 100%. Tetapi kenaikan yang sama, Rp 1 juta, dari
Rp 1 milyar ke Rp 1.001.000.000,00 "hanya" 0,001%.
6. Differential selection. Dalam studi eksperimen yang membandingkan dua kelompok (kelompok A
dan B), peneliti harus "mengatur"
sedemikian rupa sehingga kelompok A sama dengan kelompok B sehingga perbandingan bisa dilakukan secara baik.
Tetapi kadang-kadang karena satu dan lain hal, yang masuk ke kelompok A, misalnya, rata-rata lebih
baik daripada yang dikelompok B. Maka, ketika dua
kelompok ini dibandingkan di akhir
penelitian, jelas sekali kelompok A lebih baik dari kelompok B. Ini bukan karena treatment, tetapi karena
kesalahan pengelompokan.
7. Experimental mortality. Ini berhubungan
dengan tingkat drop out subjek
penelitian. Jika satu per satu subjek mengundurkan diri dari penelitian, lama-lama peneliti akan
kekurangan subjek untuk diteliti. Mungkin secara kuantitas jumlahnya masih
cukup. Tetapi bila profile subjek
berubah drastis (kelompok tertentu masih banyak, kelompok lain sebagai kelompok pembanding katakanlah tinggal satu orang), penelitian praktis tidak
mungkin dilanjutkan.
8. Selection-maturation interaction. Ini sama dengan nomor enam, tetapi satu
kelompok menjalani "pendewasaan" yang lebih cepat daripada
kelompok lainnya.
9. The John Henry Effect. Ini terjadi ketika kelompok kontrol (tidak diberi treatment) berperilaku
lebih giat, lebih rajin, dan sebagainya, daripada kelompok
eksperimen (kelompok yang diberi treatment). Hal ini mungkin terjadi karena, misalnya,
kelompok kontrol merasa bahwa nantinya mereka akan
"kalah" dibandingkan dengan kelompok eksperimen.
Perasaan "kalah" semacam ini bisa memacu kelompok kontrol
belajar dan bekerja lebih giat dari biasanya, katakanlah
untuk membuktikan bahwa mereka sama baiknya dengan kelompok
eksperimen.
10. Experimental Treatment Diffusion.
Ini terjadi ketika kelompok kontrol "belajar" dari
kelompok eksperimen, baik sengaja maupun tidak, Jadi, terjadi
"perembesan" pembelajaran dari kelompok eksperimen ke kelompok kontrol.
Semua variabel yang
berhubungan dengan fenomena di atas harus dikontrol oleh peneliti. Jika tidak, pasti akan terjadi
kesalahan dalam pengambilan
kesimpulan.
Apa yang dimaksud
dengan "dikontrol" adalah diantisipasi sedini mungkin dan kemudian "dijaga" agar tidak
mencemari proses eksperimen.
Misalnya, agar tidak terjadi efek "Differential Selection",
maka dua kelompok harus dipilih secara
acak (random) untuk
mencapai pembagian yang fair. Agar
tidak terjadi kesalahan karena faktor
"Instrumentation" atau
"testing", maka
instrumen harus diuji berulang-ulang
untuk mencapai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Untuk menghindari "experiment mortality", peneliti harus melibatkan jumlah subjek yang cukup banyak. Dan sebagainya.
Instrumen
Penelitian Kuantitatif
Jika
dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah penelitinya sendiri,
maka dalam penelitian kuantitatif, instrumen harus dibuat dan menjadi perangkat
yang "independent" dari peneliti. Peneliti harus mampu membuat
instrumen sebagus mungkin, apapun instrumen itu.
Semua
instrumen (baik yang tes maupun non tes) harus memiliki dua syarat yaitu
reliabel dan valid. Reliabel berarti hasil pengukuran konsisten dari waktu ke
waktu. Valid berarti instrumen secara akurat mengukur objek yang harus diukur.
Reliabilitas
mempunyai tiga dimensi yaitu Stabilitas, Ekivalensi, dan Konsistensi Internal
(O'Sullivan & Rassel, 1995). Stabilitas mengacu pada kemampuan instrumen
untuk menghasilkan data yang sama dari waktu ke waktu (dengan asumsi objek yang
diukur tidak berubah).
Ekivalensi
mengacu pada kemampuan dua atau lebih macam instrumen yang dibuat dua atau
lebih peneliti untuk mengukur satu hal yang sama. Misalnya, dua peneliti
mengukur penggunaan listrik di suatu aula. Dua peneliti ini menggunakan dua
instrumen yang berbeda. Tetapi jika temuan kedua peneliti ini sama, maka
instrumen mereka memilki sifat "ekivalen".
Konsistensi
internal tercapai jika semua item dalam instrumen mengukur satu hal yang sama.
Jika terdapat 10 pertanyaan tentang motivasi, maka ke 10 pertanyaan itu
mengukur hal yang sama (motivasi).
Instrumen
yang baik juga harus valid. Ada beberapa macam validitas yaitu face
validity, content validity, dan criterion valid�ity. Face validity
(validitas muka) tercapai jika suatu instrumen nampaknya sudah valid (dari
penglihatan sepintas lalu). Tentu saja validitas semacam ini sangat
superficial. Tetapi kadang-kadang peneliti cukup memerlukan validitas jenis
ini. Caranya, peneliti meminta beberapa orang membaca atau mengisi instrumen
tersebut, dan meminta pendapat mereka untuk keperluan revisi.
Content
validity (validitas isi)
tercapai jika suatu instrumen telah mencakup seluruh hal yang perlu diukur.
Jika satu tes ujian akhir telah mencakup seluruh isi mata kuliah satu semester,
maka instrumen ini dianggap memiliki validitas isi. Sebagai catatan, ini jangan
dikacaukan dengan "konsistensi internal" dalam bahasan tentang
reliabilitas. Soal tes ujian yang hanya mencakup 50% bahan kuliah satu semester
mungkin memiliki sifat konsistensi internal, tetapi instrumen ini tidak
memiliki validitas isi.
Criterion
validity (validitas kriteria)
mengacu pada kemampuan item-item instrumen untuk mengukur hal yang sama atau
memprediksi suatu hal di masa depan. Dalam hal ini kita mengenal dua macam
validitas, yaitu concurrent validity dan predictive va�lidity. Concurrent validity
tercapai jika suatu instrumen buatan kita misalnya, berkorelasi secara
signifikan dengan instrumen lain yang mengukur hal yang sama. Jika kita
mempunyai alat tes bahasa Inggris lalu kita uji cobakan kepada sejumlah siswa,
dan hasilnya ternyata berkorelasi dengan nilai TOEFL mereka, maka tes kits
telah memiliki concurrent validity.
Sedangkan
predictive validity tercapai jika suatu instrumen mampu meramalkan apa yang
terjadi di masa depan sesuai dengan hasil tes. Berikut adalah peta reliabilitas
dan validitas instrumen.
Prosedur Penelitian Kuantitatif
Proses yang secara umum
terjadi dalam penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut:
Pengamatan
a Hipotesis a Pengumpulan Data a
Pengujian
Hipotesis a Kesimpulan a Hukum/Teori/Prinsip a
Pengamatan
a Hipotesis a ��
Dengan proses deduktif
seperti ini, seorang peneliti kuantitatif akan bekerja di suatu sitem yang tertutup (closed
system) di mana proses penelitian berjalan secara linear, algoritmik, dan
output penelitian telah
ditentukan sebelumnya.
Dengan logika berpikir
seperti di atas, maka kita bisa mengerti bila jumlah bab dalam skripsi/tesis/disertasi adalah
lima. Lima bab
tersebut biasanya seperti berikut (tanpa menutup kemungkinan adanya variasi dari
masing-masing perguruan tinggi).
Bab I : Permasalahan Penelitian
A : Latar
Belakang
B :
Pokok Permasalahan
C : Tujuan
Penelitian
D : Manfaat
Penelitian
Bab II : Kerangka Teoritik
A : Definisi Variabel-variabel
B : Definisi Operasional Variabel
C : Indikator
D : Model Penelitian
E : Pertanyaan
Penelitian/Hipotesis
Bab
III : Metodologi
A : Metode
B : Populasi-Sampel
C : Instrumentasi
D : Analisis Data
Bab IV : Analisis Data Temuan
A : Deskripsi tentang
Objek/Subjek Penelitian
B : Temuan dan
Analisis
Bab V :
Kesimpulan & Saran
A : Kesimpulan
B : Saran
|
Tetapi,
sebagai catatan terakhir, perlu disinggung sedikit tentang desain penelitian
kuantitatif. Tidak seperti desain penelitian kualitatif yang bersifat �longgar� dan �fleksibel�, desain penelitian kuantitatif sangat
bersifat �kaku� dalam arti tidak mudah dirubah begitu
selesai dibuat. Variabel-variabelnya jelas dan ditentukan dengan sangat
hati-hati. Metodologinya di rancang sampai ke detil-detil terkecil. Tetapi isi
desainnya sama saja dengan penelitian kualitatif (pokok permasalahan, kerangka
teori, dan metodologi). Ingat dalam penelitian kualitatif, digunakan istilah �fokus�.
Karena itu,
peneliti kuantitatif dituntut berpikir tajam dan spesifik sejak awal. Kesalahan
kecil saja bisa mempengaruhi seluruh proses penelitian. Kadangkala peneliti
kuantitatif harus menghabiskan waktu berbulan-bulan sebelum desain
penelitiannya disetujui oleh dosen pembimbing untuk dilaksanakan di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar